Ditjen Tata Ruang Gelar Rapat Pembahasan RTRWN Menuju Indonesia Emas 2045

Jakarta — Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyelenggarakan Rapat Pembahasan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menuju Indonesia Emas 2045 yang Maju, Berdaya Saing, dan Berkelanjutan. Rapat ini berlangsung pada Selasa (24/6) di Hotel Le Meridien, Jakarta, dan dihadiri oleh para akademisi serta pemangku kepentingan dari berbagai sektor.
Rapat ini bertujuan untuk menjaring masukan terhadap substansi Revisi RTRWN yang saat ini tengah dalam tahap finalisasi. RTRWN akan menjadi panduan pembangunan wilayah nasional ke depan, selaras dengan arah pembangunan jangka panjang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045.
Mengawali sesi pembahasan, Deputi Bidang Koordinasi Pemerataan Pembangunan Wilayah, Agraria, dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Kewilayahan, Nazib Faizal, menyampaikan pentingnya pengelolaan ruang yang menyeluruh dan terintegrasi. Ia menekankan bahwa ruang darat, laut, udara, dan dalam bumi harus dikelola secara sinergis dan tidak terfragmentasi. Menurutnya, RTRWN harus menjadi landasan untuk membangun keadilan spasial, mendorong partisipasi masyarakat, dan menyatukan berbagai kepentingan sektoral dalam satu kerangka tata ruang nasional yang berkelanjutan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Tata Ruang, Suyus Windayana, dalam paparannya menegaskan bahwa RTRWN merupakan instrumen utama yang akan memandu arah pembangunan wilayah nasional menuju Indonesia Emas 2045. Ia menjelaskan bahwa terdapat lima poin utama dalam Asta Cita yang dapat didukung melalui RTRWN. “RTRWN merupakan instrumen utama yang akan memandu arah pembangunan wilayah nasional menuju Indonesia Emas 2045. Terdapat lima poin utama dalam Asta Cita yang dapat didukung melalui RTRWN yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, penurunan ketimpangan, penguatan daya saing sumber daya manusia, ketahanan pangan dan energi, serta transisi menuju pembangunan hijau dan biru,” ujarnya. Selain itu, ia juga menyoroti perlunya penataan ulang terhadap kawasan industri yang saat ini pemanfaatannya masih di bawah 20% dari total lahan yang direncanakan.
Selanjutnya, Akademisi Institut Teknologi Bandung, Sugiyantoro, menekankan bahwa RTRWN semestinya menjadi arahan kebijakan strategis dan kesepakatan nasional dalam pengelolaan ruang, bukan sekadar dokumen teknis. Ia mengkritik pendekatan pembangunan yang terlalu berfokus pada hilirisasi dan ekstraksi sumber daya alam tanpa industrialisasi yang utuh. Menurutnya, banyak konsep seperti growth pole dan kawasan strategis ekonomi (Kapet) gagal karena mengabaikan kesesuaian lokal dan nilai tambah manufaktur. Ia mendorong pendekatan pembangunan berbasis klaster yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap potensi lokal serta pemanfaatan teknologi. Ia juga menyoroti lemahnya konsistensi implementasi RTRWN, khususnya dalam perizinan ruang yang kerap tidak sejalan dengan rencana tata ruang, serta mendorong desentralisasi yang lebih nyata melalui pemberdayaan masyarakat lokal dan infrastruktur modern.
Berikutnya, Ernan Rustiadi dari Institut Pertanian Bogor menggarisbawahi pentingnya penguatan One Spatial Planning Policy dalam sistem penataan ruang nasional. Ia menilai bahwa meskipun Indonesia memiliki sistem tata ruang yang relatif lengkap, meliputi struktur dan pola ruang, namun penerapannya belum berjalan secara terintegrasi. Dalam praktiknya, sejumlah perencanaan sektoral justru lebih dominan, seperti pada revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN), yang tidak sepenuhnya berada dalam kerangka RTRWN. Hal ini menunjukkan lemahnya keterpaduan antar-rencana dan masih jauhnya praktik one planning system yang ideal.
Ernan juga menekankan bahwa RTRWN seharusnya menjadi pemandu seluruh perencanaan sektoral, regional, maupun inisiatif swasta. Namun kenyataannya, banyak daerah membuat rencana secara bottom-up dengan kecenderungan minimalis, terutama dalam perlindungan lahan pangan. Ia mendorong penerapan pendekatan berbasis teknologi seperti quantitative zoning method untuk mendeteksi potensi penyimpangan spasial sejak dini. Selain itu, RTRWN perlu menetapkan target konkret dan mengikat yang dapat diturunkan hingga ke tingkat daerah, demi mewujudkan konsistensi dan efektivitas perencanaan ruang nasional.
Pada Kesempatan yang sama, Iwan Rudiarto dari Universitas Diponegoro menyampaikan bahwa revisi RTRWN hendaknya menjadi kerangka utama pembangunan jangka panjang, tidak sekadar penyesuaian terhadap RPJMN. Ia mengusulkan pergeseran paradigma pembangunan kawasan yang lebih efektif, terutama dalam hal hilirisasi pertanian. Ia juga menyoroti pentingnya dimensi kepemilikan dan kapasitas petani, khususnya di Jawa, sebagai aspek kunci pembangunan wilayah. Ketimpangan pembangunan menurutnya merupakan dampak dari lemahnya kapasitas daerah dan tidak meratanya infrastruktur, yang dapat diatasi dengan memperluas konektivitas dan meningkatkan keterbukaan wilayah.
Dari perspektif kawasan timur Indonesia, Akademisi dari Universitas Hasanuddin, Ihsan, mengangkat urgensi optimalisasi kawasan transmigrasi sebagai sumber ketahanan pangan dan lapangan kerja. Ia menilai bahwa banyak lahan transmigrasi belum memiliki infrastruktur dasar seperti irigasi, padahal memiliki potensi besar untuk dikembangkan melalui klaster produksi dan hilirisasi komoditas. Ia juga menekankan pentingnya pengembangan kawasan industri di wilayah timur, seperti Sulawesi, untuk mendukung Ibu Kota Nusantara (IKN) dan menurunkan biaya logistik yang tinggi akibat ketimpangan infrastruktur. Menurutnya, hilirisasi industri di timur harus menjadi agenda strategis dalam revisi RTRWN.
Selanjutnya, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Hendricus Andi Simarmata menegaskan bahwa RTRWN harus berfungsi sebagai alat pengarah pembangunan nasional, bukan sekadar dokumen legalisasi proyek. Ia menyampaikan perlunya RTRWN mengkonsolidasikan seluruh rencana sektoral dan mengarahkan pemanfaatan ruang untuk kesejahteraan publik serta pelestarian sumber daya. Ia menyarankan agar RTRWN dilengkapi sistem informasi spasial terintegrasi berbasis API yang menghubungkan seluruh sektor. Ia juga mengangkat isu strategis seperti ekoregion, kelangkaan air, urbanisasi, serta perubahan iklim, dan mengusulkan pembentukan dinas penataan ruang di berbagai tingkat pemerintahan untuk memperkuat pengendalian ruang. RTRWN, menurutnya, harus menjadi “guardian of sustainable development”.
Menutup sesi penanggap, Adiwan Fahlan Aritenang dari Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) menyampaikan bahwa revisi RTRWN harus berfokus pada implementasi nyata di lapangan. Ia menyoroti lima isu strategis utama—ketahanan pangan, energi, hilirisasi sumber daya alam, perumahan, dan perlindungan lingkungan—yang harus ditangani secara realistis dan kontekstual. Ia mengingatkan bahwa banyak rencana ambisius gagal dijalankan karena tidak mempertimbangkan kapasitas daerah dan keterbatasan implementatif, seperti target ruang terbuka hijau (RTH) 30% atau backlog perumahan buruh. Ia juga mengkritik transisi energi yang belum benar-benar beralih dari sumber fosil.
Adiwan menegaskan pentingnya rencana yang bersifat implementatif, didukung koordinasi lintas sektor, anggaran memadai, dan sistem evaluasi yang terukur. Menurutnya, rencana yang baik bukanlah yang paling indah di atas kertas, melainkan yang bisa dijalankan dan berdampak langsung bagi masyarakat.
Seluruh masukan yang disampaikan oleh para akademisi dan praktisi dalam rapat ini akan dikaji dan menjadi bahan pertimbangan penting dalam penyusunan dokumen final Revisi RTRWN. Dokumen ini nantinya akan dituangkan dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yang diharapkan dapat segera ditetapkan sebagai pedoman arah pembangunan wilayah nasional menuju visi Indonesia Emas 2045.
Sumber : Sekretariat Direktorat Jenderal Tata Ruang/Humas ATR/BPN Pati Jawa Tengah